Depresi ≠ kurang bersyukur, Bung!

Depresi adalah suatu kondisi medis berupa perasaan sedih yang berdampak negatif terhadap pikiran, tindakan, perasaan, dan kesehatan mental seseorang. … Dalam kaitannya dengan gangguan mental lain, depresi dapat juga menjadi gejala dari gangguan kejiwaan seperti Gangguan depresi mayor dan distimia. Sumber

Bersyukur atau rasa terima kasih perasaan atau sikap positif menghargai faedah atau nikmat yang telah atau akan diterima. Sumber

Gue pribadi sebenernya gak nyaman mendengar stigma yang beredar di masyarakat terhadap orang-orang yang mengalami depresi. Seolah-olah mereka tidak mensyukuri anugerah dari Yang Maha Kuasa, di-judge tidak beriman, terlalu menginginkan sesuatu yang muluk-muluk, tidak mau bersosialisasi, dan sebagainya. Tidak sedikit juga yang mendefinisikan depresi sebagai tanda ketidakbahagiaan atau cacat karakter. Depresi menyerang seseorang tidak memandang seberapa dekatnya dia dengan penciptanya. Seperti beberapa curhatan hasil gue browsing di internet menyebutkan bahkan seseorang yang rutin melakukan puasa Senin-Kamis pun, ternyata sudah terserang depresi klinis selama tiga tahun. TIGA TAHUN.

Kemudian stigma orang-orang yang mendatangi psikolog atau psikiater. Gak jarang gue mendengar respon negatif seseorang terhadap teman/keluarga/kerabat mereka yang pernah/akan mendatangi psikolog/psikiater. Padahal psikolog/psikiater adalah tempat yang paling tepat untuk menangani kesehatan jiwa manusia. Bisa sih curhat ke Tuhan, tapi Dia tidak langsung menjawab. Gue percaya, psikolog/psikiater adalah tangan Tuhan untuk menolong orang-orang yang membutuhkan.

Penanganan kesehatan mental dengan psikolog/psikiater adalah langkah yang tepat ketimbang lo pergi minta dirukiyah. Hahaha, ngga, gue gak bakal bahas soal rukiyah di sini, karna bakal panjang dengan segala nyinyiran dan kekontraan gue terhadap hal ini. Di postingan ini gue juga gak akan memaparkan secara detail mengenai kesehatan mental manusia karena gue bukan ahlinya, ranah tersebut sangatlah luas dan membutuhkan waktu yang gak singkat untuk mempelajari dan memahaminya. Tapi gak ada salahnya untuk diketahui sebagai bahan pembelajaran untuk memahami kondisi mental kita sendiri.

Menurut jurnal yang gue baca di sini, depresi tidak hanya dialami oleh orang dewasa, bahkan anak-anak juga bisa mengalaminya. Depresi merupakan salah satu penyebab utama bunuh diri. Sebanyak 40% penderita depresi mempunyai ide untuk bunuh diri, dan hanya lebih kurang 15% yang sukses melakukannya. World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, depresi akan menjadi salah satu gangguan mental yang banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyebab kedua terbesar kematian setelah serangan jantung.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan depresi. Dulu, gue gak paham istilah sindrom baby blues setelah beberapa temen gue yang sudah berkeluarga dan punya anak mengunggah hal tersebut ke sosmed mereka, barulah gue sedikit tau. Yang dulu gue pahami bahwa sindrom ini akan dialami seorang wanita pasca melahirkan. Pemahaman gue sampai di situ saja dan tidak melakukan riset lebih lanjut terkait hal ini sampai ketika salah satu teman yang bisa dibilang dekat mengalaminya.

Beberapa waktu lalu, seorang teman curhat ke gue kalo dia cerita ke temannya tentang apa yang sedang dia alami saat ini, yaitu depresi. Sebut saja teman gue “X” dan temannya teman gue “Y”. Setelah X curhat dengan Y, Y menyimpulkan bahwa X kurang bersyukur. Kalimat seperti ini seharusnya tidak patut kita utarakan kepada siapapun, apalagi kepada orang yang sedang mengalami depresi. Dimana korelasinya antara tingkat stress seseorang dengan kurangnya rasa syukur kepada sang penciptanya? Gue gak paham kenapa Y dengan gampangnya menyimpulkan X seperti itu. Bukannya mendapat solusi, X malah semakin sedih.

Menurut gue, pertolongan pertama yang dapat dilakukan kepada teman/kerabat yang sedang mengalami stress atau depresi adalah dengan menjadi pendengar baik segala unek-uneknya. Karena gue bercermin pada diri gue sendiri ketika sedang banyak pikiran/tekanan, kemudian gue membaginya ke teman dekat gue, ntah kenapa rasanya suasana hati dan pikiran terasa lebih plong, beban di pundak jadi lebih ringan walaupun gue tau (mungkin) dia hanya mendengar sekilas saja.

Setelah X cerita ke gue panjang lebar, ternyata dia menyadari dirinya kalau dia belum siap untuk punya anak, dengan alasan dia masih mau berkarir. Seingat gue, dia memutuskan resign dari perusahaan memang agak dadakan, padahal perusahaan menyediakan kebijakan cuti untuk ibu yang akan melahirkan. Sungguh, tidaklah mudah untuk membuat keputusan seperti ini. Ketika usia lo masih produktif dan terbiasa melakukan rutinitas yang sudah terjadwal, tiba-tiba lo dihadapkan dengan pekerjaan yang hanya dilakukan di rumah.

Dulu sebelum X menikah, beberapa kali dia menyebut, “Mungkin gue udah mau mati kali ya..?”. Setiap dia bilang begini, gue yang merinding. Gue pernah baca beberapa artikel yang menjelaskan bahwa salah satu ciri yang menandakan seseorang mengalami depresi adalah tidak jarang mereka menyebut keinginannya untuk mengakhiri hidup mereka. Sebelum dia melahirkan, gue intens menanyakan kabarnya via WhatsApp untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Setelah dia melahirkan, hal tersebut sudah jarang dilakukanGue ngerti, pasti dia sibuk mengurus bayinya, tapi gue ngerasa ada sesuatu yang mengganjal. Gue tetap mencoba untuk selalu menyapa duluan karena gak biasanya dia jarang chat gue. Ternyata feeling gue bener, something happened to her.

Gue juga sudah menyarankan dia untuk mendatangi psikolog/pskiater. Fortunately, dia bukan tipe orang yang mudah tersinggung karena kita berdua sudah saling mengenal karakter satu sama lain. Beberapa minggu lalu dia mengabarkan bahwa dia sudah konsultasi ke psikiater, dan dia didiagnosa postpartum depression yang menurut ahli kondisinya lebih parah dari baby blues. Jujur gue khawatir sama teman gue ini, tapi gue juga gak mau dianggap terlalu ‘kepo’. Terakhir gue menanyakan kabar dia beberapa minggu lalu dan dia menjawab, “I’m dying”. Gue semakin khawatir dan gak bisa melakukan apa-apa. Gue juga gak tau alamat rumahnya di mana, yang hanya bisa gue lakukan adalah menyemangati dia dari jauh. Tadi malam gue chat dia lagi, dan paginya dia baru membalas bahwa kabarnya baik-baik saja. Alhamdulillah…

***

Merry Christmas and Happy Holiday!

2 thoughts on “Depresi ≠ kurang bersyukur, Bung!

  1. Sayangnya memang masih banyak stigma dan ketidaktahuan orang-orang Indonesia ttg masalah psikologis… belum lagi anak-anak yang kemungkinan besar mengidap ADHD atau berada di spektrum autisme… bukannya diberi penanganan yang tepat, malah dianggap “aib” atau “kena kutukan” dan cuma dikerangkeng di halaman belakang rumah. Ya Tuhan…..

    Liked by 1 person

    1. Hi, Miss Mae. Happy New Year!

      Betul, dan masih banyak orang yang malas cari tahu/mengedukasi dirinya mengenai hal ini. Mau mengumpat, kok ya kasian guenya buang2 energi, tapi kalo gak diinfokan mengenai hal ini ke mereka, jadinya gue yg seolah membiarkan orang2 itu dengan pendiriannya kalo anak2 dengan kondisi tersebut adalah aib/kutukan. Seharusnya kita yang memahami kondisi mereka, bukan sebaliknya.

      Liked by 1 person

Leave a reply to Miss Mae Cancel reply