Memilih Platform Sosial Media sesuai Kebutuhan

social-media

Hi! Setelah dua tahun lebih lamanya gue gak pernah mampir ke sini, sampai tiba masanya gue memutuskan untuk kabur ke sini dari dunia per-socmed-an sementara karena gue gak tahan membaca banyaknya kabar buruk dari yang terjadi hampir setiap hari di beberapa minggu terakhir. Seharusnya tulisan ini menjadi tulisan ketiga yang akan diposting, karena dua tulisan yang lainnya belum selesai dan masih banyak yang harus ditambahkan.

Kali ini, untuk kedua kalinya gue menon-aktifkan akun personal Instagram gue. Sejak gue mengaktifkannya kembali pada akhir tahun lalu, gue semakin jarang buka Twitter yang mana Twitter adalah teman sejati gue setiap gue membuka dan menutup mata. Gue memang sengaja mengaktifkan kembali akun Instagram gue karena gue mau tau perkembangan yang lagi ngetrend di sana, cara orang-orang berjualan, dan bersilaturahmi secara virtual dengan temen-temen yang sudah lama tidak pernah bertemu. Oh ya, gue juga sekalian melakukan observasi sederhana untuk membandingkan Twitter dan Instagram.

Saat ini, pengguna Instagram lebih sering memanfaatkan feature Instagram Story (IGS) ketimbang posting foto di feeds. Kalo menurut pengamatan gue, selain karena letak IGS lebih strategis di bagian atas dan selalu bergantian update setiap menitnya, kita juga bisa melihat jumlah viewers yang mengunjungi setiap postingan kita selama 24 jam. Feature ini membuat platform tersebut jadi lebih menarik, karena pengguna bisa memantau siapa saja yang sering mengunjungi/’kepo’ dengan stories yang kita posting. 

Setelah beberapa bulan gue menggunakan Instagram, gue merasa banyak waktu gue yang terbuang karena menonton postingan temen-temen yang gak jauh dari kehidupan pribadi mereka. Misalnya, beberapa suka untuk memposting design restoran/coffee shopbaru yang sedang hitslalu postingan foto makanan, foto-foto travellingOh iya, minggu lalu ada celebgram (celebgram on Instagram) tanah air yang menerima endorse untuk travelling ke luar negeri di masa pandemi. Tentu saja dia menerima hujatan dari netizen +62 yang budiman. Nanti gue buat tulisan tentang ini. Lanjut postingan foto post-workout bagi pecinta olahraga. Ada juga yang misuh-misuh, biasanya gue yang sering begini (haha!), karena menurut gue medsos adalah wadah yang tepat untuk mengkritik kebijakan pemerintah atau sekadar meluapkan keluh kesah atas perilaku masyarakat yang masih ada aja yang membuang sampah sembarangan.

Kemudian posting cuplikan lagu yang mewakili perasaan mereka saat itu. Ada juga yang isi storiesnya mengenai informasi terkini–biasanya yang isi storiesnya seperti ini adalah para akademisi–untuk saat ini issues yang paling banyak adalah terkait Covid-19, pelecehan seksual, feminism, global warming, dsb. Pernah juga gue lihat ada yang me-repost video seorang istri melabrak suaminya yang berelingkuh dan memperlakukan kasar perempuan yang jadi selingkuhan suaminya. Buat gue ini konten yang sangat tidak edukatif dan tidak masuk akal karena perselingkuhan melibatkan dua orang, tapi seringnya yang dituduh dan dipojokkan malah perempuan yang jadi selingkuhan si suami. Menurut gue keliru ya kalau hanya menyalahkan satu pihak saja. Oke, hal ini menarik juga untuk dijadikan tema tulisan selanjutnya. Dan yang terakhir yang paling gue suka adalah postingan memes, dark humor, dan video-video kucing dan anjing yang menggemaskan.

Bagi para pencari cuan, Instagram merupakan platform yang tepat untuk mempromosikan akun jualan dan juga sebagai media untuk menghubungkan atara penjual dan calon pembeli. Target bisa dimulai dari circle pertemanan hingga menggunakan jasa celebgram yang followersnya bisa mencapai puluhan ribu bahkan jutaan yang tentu saja punya pengaruh besar untuk bisnis kita. Di Instagram, kita juga dapat dengan mudah memantau engagement kunjungan audience setiap hari dengan cara mengubah akun dari mode personal menjadi business account. Kalau soal ini gue cocok, karena gue pun sedang merintis usaha online cake shop kecil-kecilan dari rumah.

Gue mau flashback sedikit ke zaman di mana gue baru mengenal social media platform. Dimulai dari kemunculan Friendster (ketahuan deh gue ini dari generasi mana) yang menjadi platform pertama yang gue/semua orang gunakan. Karena ini jugalah gue betah duduk berjam-jam di depan komputer di warnet deket kosan gue for every single day (maksudnya selingan sambil ngerjain tugas kuliah). MySpace, dulu gue seneng banget sama platform ini karena bisa berteman dengan anak emo dari luar negeri padahal kemampuan berbahasa Inggris gue masih nol. Plurk, sepertinya platform ini dibuat hanya untuk lucu-lucuan saja, karena feature yang disediakan sederhana, hanya kolom untuk membagikan cuitan kita dan kolom komentar, dengan jumlah pertemanan yang terbatas. Plurk perlahan menghilang setelah kehadiran Facebook.

Kemunculan Facebook seakan menjadi obat rindu akan Friendster. Selain platform ini juga dapat menghubungkan kita dengan teman-teman yang sudah lama menghilang, Facebook juga menyediakan feature notes untuk ‘curhat’, dan juga wadah untuk menyimpan koleksi foto. Kemudian muncul Blogspot, kalau tidak salah platform ini booming diwaktu hampir bersamaan dengan Facebook, padahal Blogspot sudah ada sejak tahun 1999. Platform ini adalah wadah yang sering digunakan oleh orang-orang yang hobi menulis, seperti menuangkan ide-ide/gagasan mereka, atau sekadar bercerita. Dulu kita menyebutnya sebagai online diary. Lucunya, diary yang seharusnya bersifat rahasia berubah menjadi tempat yang bisa diakses oleh siapa pun. Sebelum vlog muncul, blog telah duluan membawa gue melihat dunia luar melalui pengalaman hidup orang Indonesia yang bekerja/melanjutkan sekolah/menikah dengan warga lokal di sana. Kegiatan ini selalu membuat gue happy dibanding menonton vlog, karena dengan membaca, imajinasi gue juga ikutan melanglang buana.

Semakin kesini dan semakin bertambahnya kesibukan, gue sudah berhenti mengikuti trend untuk punya semua social media platform yang semakin beragam seperti Snapchat, TikTok, tumblr, Reddit, dsb. Dari awal Twitter muncul, gue udah suka dan gak pernah berhenti menggunakannya. Kegiatan membuka Twitter di pagi hari sambil sarapan sebelum memulai aktivitas sudah menjadi rutinitas gue setiap hari untuk update perkembangan dunia. Menurut gue, penggunaan Twitter ini lebih simple dibanding Instagram. Contohnya, ketika portal berita memposting link artikel yang judulnya menarik, gue tinggal ngeklik link tersebut dan langsung diarahkan ke laman yang menyajikan berita yang ingin kita baca. Tidak seperti Instagram, kita diarahkan untuk mengklik link yang tertera pada bio terlebih dahulu, lalu laman yang terbuka malah home page website tersebut yang mana membuat gue agak kewalahan untuk mencari artikel yang ingin dibaca tadi. It takes time and inconvenience

Beberapa hari setelah gue menonaktifkan akun gue, Instagram mengeluarkan feature terbaru seperti TikTok yang bernama Reels. Gue pikir bakal beda, ternyata plek ketiplek sama banget dengan TikTok. Well, intinya untuk saat ini Twitter adalah platform yang paling tepat untuk gue karena kemudahannya untuk mengakses berita, juga banyak hal mulai dari yang serius sampai yang receh. Gue juga udah gak peduli ketika semua orang mengikuti trend untuk eksis disemua social media platform, kecuali memang dibutuhkan dan memudahkan pekerjaan kita.

Anyway, thanks for stopping by. Stay happy, healthy, follow healthy protocols, and double your mask! =D

Depresi ≠ kurang bersyukur, Bung!

Depresi adalah suatu kondisi medis berupa perasaan sedih yang berdampak negatif terhadap pikiran, tindakan, perasaan, dan kesehatan mental seseorang. … Dalam kaitannya dengan gangguan mental lain, depresi dapat juga menjadi gejala dari gangguan kejiwaan seperti Gangguan depresi mayor dan distimia. Sumber

Bersyukur atau rasa terima kasih perasaan atau sikap positif menghargai faedah atau nikmat yang telah atau akan diterima. Sumber

Gue pribadi sebenernya gak nyaman mendengar stigma yang beredar di masyarakat terhadap orang-orang yang mengalami depresi. Seolah-olah mereka tidak mensyukuri anugerah dari Yang Maha Kuasa, di-judge tidak beriman, terlalu menginginkan sesuatu yang muluk-muluk, tidak mau bersosialisasi, dan sebagainya. Tidak sedikit juga yang mendefinisikan depresi sebagai tanda ketidakbahagiaan atau cacat karakter. Depresi menyerang seseorang tidak memandang seberapa dekatnya dia dengan penciptanya. Seperti beberapa curhatan hasil gue browsing di internet menyebutkan bahkan seseorang yang rutin melakukan puasa Senin-Kamis pun, ternyata sudah terserang depresi klinis selama tiga tahun. TIGA TAHUN.

Kemudian stigma orang-orang yang mendatangi psikolog atau psikiater. Gak jarang gue mendengar respon negatif seseorang terhadap teman/keluarga/kerabat mereka yang pernah/akan mendatangi psikolog/psikiater. Padahal psikolog/psikiater adalah tempat yang paling tepat untuk menangani kesehatan jiwa manusia. Bisa sih curhat ke Tuhan, tapi Dia tidak langsung menjawab. Gue percaya, psikolog/psikiater adalah tangan Tuhan untuk menolong orang-orang yang membutuhkan.

Penanganan kesehatan mental dengan psikolog/psikiater adalah langkah yang tepat ketimbang lo pergi minta dirukiyah. Hahaha, ngga, gue gak bakal bahas soal rukiyah di sini, karna bakal panjang dengan segala nyinyiran dan kekontraan gue terhadap hal ini. Di postingan ini gue juga gak akan memaparkan secara detail mengenai kesehatan mental manusia karena gue bukan ahlinya, ranah tersebut sangatlah luas dan membutuhkan waktu yang gak singkat untuk mempelajari dan memahaminya. Tapi gak ada salahnya untuk diketahui sebagai bahan pembelajaran untuk memahami kondisi mental kita sendiri.

Menurut jurnal yang gue baca di sini, depresi tidak hanya dialami oleh orang dewasa, bahkan anak-anak juga bisa mengalaminya. Depresi merupakan salah satu penyebab utama bunuh diri. Sebanyak 40% penderita depresi mempunyai ide untuk bunuh diri, dan hanya lebih kurang 15% yang sukses melakukannya. World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, depresi akan menjadi salah satu gangguan mental yang banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyebab kedua terbesar kematian setelah serangan jantung.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan depresi. Dulu, gue gak paham istilah sindrom baby blues setelah beberapa temen gue yang sudah berkeluarga dan punya anak mengunggah hal tersebut ke sosmed mereka, barulah gue sedikit tau. Yang dulu gue pahami bahwa sindrom ini akan dialami seorang wanita pasca melahirkan. Pemahaman gue sampai di situ saja dan tidak melakukan riset lebih lanjut terkait hal ini sampai ketika salah satu teman yang bisa dibilang dekat mengalaminya.

Beberapa waktu lalu, seorang teman curhat ke gue kalo dia cerita ke temannya tentang apa yang sedang dia alami saat ini, yaitu depresi. Sebut saja teman gue “X” dan temannya teman gue “Y”. Setelah X curhat dengan Y, Y menyimpulkan bahwa X kurang bersyukur. Kalimat seperti ini seharusnya tidak patut kita utarakan kepada siapapun, apalagi kepada orang yang sedang mengalami depresi. Dimana korelasinya antara tingkat stress seseorang dengan kurangnya rasa syukur kepada sang penciptanya? Gue gak paham kenapa Y dengan gampangnya menyimpulkan X seperti itu. Bukannya mendapat solusi, X malah semakin sedih.

Menurut gue, pertolongan pertama yang dapat dilakukan kepada teman/kerabat yang sedang mengalami stress atau depresi adalah dengan menjadi pendengar baik segala unek-uneknya. Karena gue bercermin pada diri gue sendiri ketika sedang banyak pikiran/tekanan, kemudian gue membaginya ke teman dekat gue, ntah kenapa rasanya suasana hati dan pikiran terasa lebih plong, beban di pundak jadi lebih ringan walaupun gue tau (mungkin) dia hanya mendengar sekilas saja.

Setelah X cerita ke gue panjang lebar, ternyata dia menyadari dirinya kalau dia belum siap untuk punya anak, dengan alasan dia masih mau berkarir. Seingat gue, dia memutuskan resign dari perusahaan memang agak dadakan, padahal perusahaan menyediakan kebijakan cuti untuk ibu yang akan melahirkan. Sungguh, tidaklah mudah untuk membuat keputusan seperti ini. Ketika usia lo masih produktif dan terbiasa melakukan rutinitas yang sudah terjadwal, tiba-tiba lo dihadapkan dengan pekerjaan yang hanya dilakukan di rumah.

Dulu sebelum X menikah, beberapa kali dia menyebut, “Mungkin gue udah mau mati kali ya..?”. Setiap dia bilang begini, gue yang merinding. Gue pernah baca beberapa artikel yang menjelaskan bahwa salah satu ciri yang menandakan seseorang mengalami depresi adalah tidak jarang mereka menyebut keinginannya untuk mengakhiri hidup mereka. Sebelum dia melahirkan, gue intens menanyakan kabarnya via WhatsApp untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Setelah dia melahirkan, hal tersebut sudah jarang dilakukanGue ngerti, pasti dia sibuk mengurus bayinya, tapi gue ngerasa ada sesuatu yang mengganjal. Gue tetap mencoba untuk selalu menyapa duluan karena gak biasanya dia jarang chat gue. Ternyata feeling gue bener, something happened to her.

Gue juga sudah menyarankan dia untuk mendatangi psikolog/pskiater. Fortunately, dia bukan tipe orang yang mudah tersinggung karena kita berdua sudah saling mengenal karakter satu sama lain. Beberapa minggu lalu dia mengabarkan bahwa dia sudah konsultasi ke psikiater, dan dia didiagnosa postpartum depression yang menurut ahli kondisinya lebih parah dari baby blues. Jujur gue khawatir sama teman gue ini, tapi gue juga gak mau dianggap terlalu ‘kepo’. Terakhir gue menanyakan kabar dia beberapa minggu lalu dan dia menjawab, “I’m dying”. Gue semakin khawatir dan gak bisa melakukan apa-apa. Gue juga gak tau alamat rumahnya di mana, yang hanya bisa gue lakukan adalah menyemangati dia dari jauh. Tadi malam gue chat dia lagi, dan paginya dia baru membalas bahwa kabarnya baik-baik saja. Alhamdulillah…

***

Merry Christmas and Happy Holiday!

Pernikahan à la Suhay Salim & Jay

Beberapa hari ini media sosial diramaikan oleh foto post wedding yang diupload oleh beauty vlogger Indonesia, Suhay Salim, di akun Instagram pribadinya. Awalnya gue gak tahu siapa doi ini setelah salah satu Youtuber asal Indonesia yang berdomisili di Berlin me-repost foto yang di-upload oleh Suhay di instastorynya. Mungkin hanya segelintir orang termasuk gue yang gak up-to-date di dunia per-beauty vlogger-an. Karena I have less interest of make-up or skincare products. Jujur, koleksi lipstik gue aja cuma 1-3 doang kali dan itupun shadesnya  mirip-mirip.

Back to the topic, jadi, apakah yang membuat foto itu mencuri perhatian banyak netizen? Kebanyakan pasangan yang baru saja menikah pasti mengabadikan momen spesial mereka sambil memegang buku nikah lengkap dengan pakaian adat yang dikenakan dan make-up tebal seperti yang sering kita lihat di internet atau TV. Namun, kali ini gue agak sedikit terpesona dengan pakaian yang dikenakan oleh Suhay dan suaminya. Ya, hari Minggu kemarin mereka menikah di KUA hanya dengan mengenakan pakaian semi-formal, yaitu T-shirt yang dipadankan dengan blazer dan jeans. Gue yakin pasti banyak yang nyinyir karena kesannya pernikah mereka dilakukan tanpa niat.

Sampai hari ini gue masih terpukau dengan keputusan mereka menikah dengan ‘no budget’. Sungguh hal yang sangat menginspirasi gue. Dan tentu saja hampir tidak pernah ditemukan di negara kita tercinta ini. Mungkin kalo jaman dulu banyak yang menikah sesantai ini, tapi kalo sekarang kayaknya gak mungkin deh. Malah semakin ke sini yang gue lihat pergelaran pesta pernikahan semakin menjadi-jadi. Sebelum menikah pun ada istilah bridal shower yang mereka mungkin gak tau apa definisi dari bridal shower itu sendiri.

The custom of the bridal shower is said to have grown out of earlier dowry practices, when a poor woman’s family might not have the money to provide a dowry for her, or when a father refused to give his daughter her dowry because he did not approve of the marriage. In such situations, friends of the woman would gather together and bring gifts that would compensate for the dowry and allow her to marry the man of her choice.

Source

Belum lagi harus menyediakan budget untuk menyewa gedung dan dekorasi yang nilainya puluhan bahkan sampai ratusan juta rupiah. Budget untuk catering dan harus pilih yang rasanya enak karena kalau gak enak bakalan jadi bahan gosip orang-orang. Pakaian pengantin untuk dua kali acara yaitu akad dan resepsi. Lalu menyewa make-up artist agar pengantin wanita terliat bak bidadari turun dari khayangan. Lalu pemilihan band, MC, fotografer, dan masih banyak lagi. Deuuhhh, nulis dan ngebayanginnya aja udah buat gue puyeng!

Gak. Gue gak iri sama sekali dengan mereka yang mampu mengeluarkan dana sekian ratus juta rupiah untuk menggelar pesta pernikahan bak pangeran dan putri Inggris. Hanya saja gue sangat menyayangkan setiap lembar uang yang mereka keluarkan untuk menyajikan makanan kepada orang-orang yang masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara belum tentu tetangga kita sudah kenyang atau saudara-saudara di belahan bumi lain masih banyak yang kelaparan, bahkan untuk mendapatkan kebutuhan air bersih pun susah. Mungkin karena gue bukan orang kaya yang terbiasa memiliki uang banyak dan membuang-buangnya hanya dalam hitungan jam.

Imho, dalam ajaran agama gue, gak ada yang namanya kewajiban untuk menggelar resepsi setelah akad nikah dengan mengundang ratusan tamu yang gue gak ngerti mereka sebenarnya diundang untuk apa. Gue yakin penganut paham idealisme sangat terinspirasi dengan gaya pernikahan Suhay dan suaminya yang super santai with no-budget ini. Gue juga yakin banget sih kalo Suhay dan suaminya berasal dari keluarga berada dan mereka pasti mampu menggelar pernikahan mewah seperti yang lain. Menurut gue, pernikahan mereka adalah salah satu contoh penerapan pola pikir yang rasional, gak ribet, gak malu menikah dengan pakaian seadanya, dan yang paling penting adalah gak perlu membuang-buang uang. Ya karna memang esensi pernikahan tidak perlu menggelar pesta pora hanya karena mau diakui kalo kita mampu menggelar pesta sebesar itu hanya dalam semalam. Kehidupan setelah menikah akan jauh lebih banyak membutuhkan dana. Yang terpenting adalah mendapatkan pengakuan baik secara agama dan hukum. Tapi kembali lagi, ini soal prinsip. Setiap orang punya pemahaman berbeda-beda mengenai esensi dari pernikahan itu sendiri.

“Umur segini kok belum laku juga?”

“Umur segini kok belum laku juga kamu, Ros?”

Well, this post is going to be a long one. Sebut saja namanya Ros. Ros ini sudah menginjak usia kepala tiga. Dia seorang teman yang gue kenal ketika dulu gue tinggal di kos-kosan di bilangan Jakarta Selatan. Pagi ini, Ros mengirimkan gue sebuah pesan via WhatsApp dengan inti mau curhat. Gue yang merasa gak terlalu akrab sama dia, agak heran karena tumben-tumbennya dia mau curhat dengan gue yang isi kepalanya complicated begini. Ternyata dia mau tau pendapat gue soal how to handle my feeling towards people who will throw you questions related to marriage such as, “Kapan nyusul? Mana nih calonnya? Jangan lama-lama nunda nikah, nanti jadi perawan tua loh!” di suatu acara pernikahan. Jujur gue agak terganggu sekaligus kesal dengan kata ‘laku’ pada kalimat yang dilontarkan oleh teman Ros kepadanya. Apakah perempuan benar-benar dipandang seperti barang dagangan disaat perempuan tersebut belum mempunyai partner sehingga dalam society kita perempuan layak dilabeli seperti barang yang belum ada peminatnya? Suatu barang punya masa kadaluarsanya, apakah hal ini berlaku juga pada perempuan?

Topik mengenai pernikahan adalah salah satu hal yang sensitif bagi perempuan yang belum menikah di usai 30 tahun ke atas. Well, gak semua sih. Katakanlah hal yang sensitif ini menjadi sebuah momok/suatu hal yang paling sering dihindari ketika menghadiri acara pernikahan saudara, teman, atau kerabat. Gue yakin, gak jarang para tetua yang sudah beranak pinak atau teman yang sudah mempunyai keluarga kecil melontarkan pertanyaan template tersebut. Dalam satu agama tertentu, pernikahan disebut-sebut sebagai ibadah yang dapat menyempurnakan agama. Tapi, apakah hanya dengan cara itu saja jalan satu-satunya untuk menyempurnakan agama yang kita yakini? Lalu, apa gunanya beribadah, beramal, berbuat baik kepada sesama, dan lain-lain. Masih belum sempurna juga rupanya.

Gue sendiri udah kenyang banget dihadapkan dengan pertanyaan serupa. Awal bulan ini, gue pulang ke Makassar. Gue pulang karena nyokap meminta untuk ngebantuin doi mengurusi tetek bengek pernikahan adek gue. Tadinya sempat terlintas di benak gue untuk gak pulang dengan alasan malas menghadapi pertanyaan template yang akan gue hadapi nanti. Apalagi sekarang gue lagi gak dekat dengan siapapun. “Nah loh, udah gak punya pacar sekarang dilangkahi adik yang akan duluan berumah tangga, laki-laki pula, “, pikir gue sebelum membeli tiket pesawat dan gue sekhawatir itu waktu itu.

Beberapa bulan lalu, gue inget banget ketika nyokap dengan sangat berhati-hati sekali menyampaikan berita ini ke gue via telepon, bahwa adek gue akan meminang gadis pilihannya. Mungkin nyokap gue khawatir kalo gue akan merasa sedih karena akan ‘dilangkahi’. Demi apapun, saat itu gue malah terharu mendengar berita baik itu. Gue malah gak nyangka kalo ternyata adek gue sehebat dan seberani itu dengan cepatnya tidak membiarkan hubungannya dengan perempuan pilihannya menggantung lama-lama. Gak pernah sedikitpun gue merasa sedih karena dilangkahi‘. Gue justru senang bukan kepalang dan terharu sampai menitihkan air mata saat mendengar berita baik ini. 

Saat itu juga nyokap menanyakan soal ‘pelangkah’ apa yang gue inginkan. Jujur saja, gue sih maunya dibeliin iMac atau tiket PP untuk jalan-jalan ke Eropa, hehe bercanda, gue ngertilah kalo pernikahan itu butuh dana yang gak sedikit. Lalu gue bilang ke nyokap kalo gue gak perlu hal-hal seperti itu, dengan cara adek gue semakin menyayangi gue saja, itu sudah cukup. Intinya gue gak mau mempersulit walaupun adek gue telah menyediakan dana untuk hal tersebut.

Lima hari mendekati hari pernikahan, gue tiba di Makassar dan dijemput adek gue yang bungsu. Sanak saudara mulai berdatangan satu persatu dari kampung. Dan ketika itu pulalah pertanyaan template itu satu persatu menyerang gue. Gue sangat menghargai beberapa paman dan bibi yang mendoakan gue agar gue segera dipertemukan dengan lelaki yang tepat. Gue suka kalimat ini, karena terdengar menenangkan dan gue gak perlu memikirkan jawaban dibanding dengan dihujani dengan pertanyaan yang gue sendiri gak tau jawabannya. Salah satu Paman yang jarang gue temui bertanya di mana calon suami gue dan keluarganya menginap. Awalnya gue mengira pertanyaan itu bertujuan untuk menyinggung gue agar gue segera menikah juga atau murni dia memang gak tau kalo yang mau menikah saat itu adalah adek gue. Lalu gue jawab dengan ketawa ‘ga enak’, “Haha, bukan saya yang mau menikah, Om, tapi adik saya”. Terlihat sepintas diwajahnya ekspresi tersipu malu, ternyata dia memang gak tau kalo dikira gue yang mau menikah. Bahkan ada sebagian yang memilih diam untuk (mungkin) tidak mau menyinggung perasaan gue, padahal sih gue udah kebal. Tapi memang dari dulu gue gak pernah merasa hopeless ketika ditanya kenapa belum menikah, ya karena di samping gue belum menemukan lelaki yang tepat untuk menjadi partner gue seumur hidup, gue juga belum siap mentally and financially. You get my point, right?

Memutuskan untuk menikah bukanlah perkara semudah membalikkan telapak tangan. Mungkin sebagian besar yang sudah melewati fase ini akan mengatakan, Kalo lo menggunakan logika lo untuk hal ini atau berpikir pesimis kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam suatu pernikahan, ya lo gak akan pernah siap”. What!!? Apa salahnya sih kalo kita merencanakan pernikahan secara sistematis untuk meminimalisir kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam suatu pernikahan? Emang sih kita gak bakal pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan, but at least kita harus mempersiapkan mental kita untuk hal-hal yang akan menerpa kita berdua nanti, kita harus kuat seperti karang yang setiap hari diterpa kerasnya ombak terhadap suatu hal yang mungkin akan sangat menyakitkan. Bagaimana jika kita menikah lalu di tengah jalan baru tersadar kalo ternyata kita belum siap akan hal-hal sesepele ternyata kita belum siap menerima sifat asli partner kita yang setelah menikah baru terungkap semua.

Sebagai contoh yang gue lihat dengan mata kepala sendiri di lingkungan di mana Paman gue tinggal. Paman gue bertetangga dengan pasangan suami isteri dan tiga anak yang masih kecil-kecil. Mereka baru pindah beberapa bulan lalu di rumah kontrakan yang posisinya pas di depan rumah Paman gue. Bukannya mau menduga, tapi sepertinya kondisi ekonomi mereka sulit Setiap hari, si Ibu gak pernah absen memarahi dan membentak anak-anaknya. Suaranya sering kali terdengar sampai ke lantai 2 rumah Paman gue, bahkan saat jendela kamar tertutup rapat sekalipun suara bentakannya masih terdengar jelas. Saking seringnya, gue merasa terganggu mendengarkan bentakan-bentakan Ibu itu sampe biasanya bikin gue ngedumel sama sepupu gue. Ibu itu memarahi anaknya seringnya karena masalah sepele. Ntah itu karena anak-anaknya gak mau berhenti main airlah, gak mau tidur sianglah, dan hal lain yang menurut gue masih wajar dilakukan oleh anak seumuran mereka. Seharusnya sebagai orang dewasa kita bisa menahan emosi untuk tidak terpancing akan kelakuan anak-anak yang belum mengerti apa-apa. Sangat disayangkan ketika anak-anak seharusnya menerima kasih sayang diusia pertumbuhan mereka, mereka malah mendapat perlakuan sebaliknya. Apakah pernah terlintas di pikiran kedua orangtua anak-anak itu sebelum mereka memutuskan untuk punya anak? Gue rasa sih ngga. Gue bukan ahli psikologi, tapi gue bisa mikir dan menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi suatu rumah tangga akan mempengaruhi mental individu yang terlibat di dalamnya.

Adalagi pernyataan seperti, “Jangan terlalu khawatir, setiap anak punya rezekinya masing-masing.” Oke, gue paham banget akan hal ini, Tuhan menciptakan manusia gak luput dengan rezekinya, tergantung dari manusia itu sendiri nanti gimana cara mereka menggunakan kesempatan untuk mencari rezeki. Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana caranya agar society tidak mengurusi pilihan hidup orang lain? Atau mengajarkan mereka bagaimana cara menghargai keputusan seseorang yang memilih untuk tidak menikah. Semua orang (mungkin) mau menikah, tetapi ada juga yang gak mau sih–well kebanyakan yang berprinsip seperti ini adalah orang-orang tidak mau mengambil resiko untuk hidupnya dan mau lebih fokus dalam mengembangkan karir mereka, toh kebutuhan biologis zaman sekarang sudah bisa terpenuhi tanpa harus terikat dengan pernikahan, tapi tidak semua orang punya pendapat yang sama akan hal ini. Sepertinya kebanyakan masyarakat Indonesia belum puas ketika mereka belum melihat penderitaan orang lain selesai. Contoh ketika sudah menikah, pasti masih banyak pertanyaan template berentet lainnya seperti jika belum dikaruniai keturunan di awal pernikahan, mampuslah sudah hidup lo! Sudah bersusah payah mencari jodoh untuk dinikahi guna menghindari pertanyaan-pertanyaan membosankan, ditambah lagi pertanyaan soal, “Kapan nih punya anak? Jangan nunda-nunda loh nanti… blaa bla bla..” di tahun-tahun awal pernikahan. Selamat! Beban hidup lo setelah ijab kabul belum selesai sampai di sini.

Kembali ke pertanyaan Mbak Ros mengenai gimana cara gue nge-handle perasaan gue dengan pertanyaan template ini. To be completely honest, ntah kenapa gue udah biasa aja dan gak mau terlalu pusing, karena kalo gue mikirin hal ini semakin jauh, yang ada gue malah semakin puyeng, karena gue sendiri gak tau jawabannya kapan gue akan menikah. Pertanyaan ini sama seperti jika seorang anak bertanya kapan kiamat datang, karena hanya Tuhanlah yang tahu. Satu sisi ya gue bakal menjawab kalo sampai saat ini belum dipertemukan lelaki yang tepat gdan sudah berusaha untuk mencari pasangan hidup gue dengan cara menggunakan jasa dating appnamun sayangnya kami belum juga dipertemukan olehNya. Harapan gue dengan menjawab seperti ini adalah agar mereka lebih peka dan mengerti bahwa setiap individu punya jalan hidup yang gak sama dengan individu lainnya dan berharap mereka lebih kreatif lagi dalam membuat pertanyaan untuk orang lain supaya gue betah ngobrol berlama-lama dengan mereka dan supaya mereka gak ngelabelin gue dengan kata ‘sombong’.

Sekian dan terima kasih.

Simple salad for lunch

This time, I am going to share a simple salad recipe for lunch. I find what I write here is funny because I think that this would not be that useful as I am not sure no one will read this. When I was looking for simple lunch recipe on YouTube because I’m getting bored to eat local food, I stumbled upon on some of food vlogger channels who make a simple salad for lunch. Before we step further to the recipe, I want to share what I experience or at least as a reminder for me after I ate this salad for a few consecutive days.

Fast food, junk food, the beverage that contains processed sugar are food that not suited to my taste. I wonder why I don’t fancy such food like others. I have been faking myself to have this craving for fast food also with soda, but after I eat it, my stomach got bloated and went home regretful.

Everything I have for my body is considered healthy, but I change it to be healthier like taking more raw food without any processes. So, I skip fried, boiled, steamed food, and make my food completely raw. I have been doing this for like a fortnight and I have felt something changes a little bit especially on my monthly period days. Every time the monthly period comes, I always got pain in my belly on the first and second day. But surprisingly I didn’t feel anything at all at this time. It’s probably because I ate raw vegetables and a bottle of pressed juice that I bought from Re.Juve (not an endorsement) for once in a week. For the pressed juice itself, I have two of my favorite of it that’s Green Glory (that contains; spinach, celery stick, pineapple, and orange) and Firey Beat (that contains; beetroot, cucumber, apple, pineapple, and ginger). I personally have no problem with the taste instead love it that much. Besides, it’s very healthy, fresh, and most importantly that it’s sugar-free. 

How can I convince myself that this product is sugar-free? Fortunately, my aunt has a juicer but she rarely uses it, so I try to make it by myself. After I made the pressed juice myself without sugar or artificial sweetener, the flavor is literally the same as the Re.Juve products I tried before. So yeah, I can convince you that the product is totally sugar-free!

Let’s go back to the salad recipe. I bought all the ingredients from Ranch Market at Epicentrum because it’s the closest place I could reach from my office and the commuter station by Gojek. Besides, I couldn’t find imported baby spinach at the traditional market. Doing grocery activity at a mall is quite convenient once in a while. I usually go there after office hours in the evening to buy groceries, watch a movie, meet up with my friends, or grab something to eat. That time I was about to buy some products for my breakfast as I run out of them. I bought oatmeal, dark chocolate, granola, breads, yogurt, and when I passed through the vegetable’s shelf, I saw the lettuce were on sale, ‘buy one get one free’. Then out of the blue, a bowl of vegetable salad across my mind. Anyway, Epicentrum has always been my favorite place to spend my time alone since I was in university. 

Here are some of the ingredients I bought:

  • 2 bunches of lettuce Rp 20k (bogof)
  • 1 pack Australian baby spinach Rp 51k
  • 1 pack cherry tomatoes Rp 15k
  • 1 big red onion Rp 14k
  • 1 bottle extra virgin olive oil Rp48k
  • 1 grind coriander Rp 7k
  • 1 black pepper Rp16,5k

Total: Rp 171.500

How to make it:

To begin with, prepare a clean salad bowl. Wash the lettuce, cherry tomatoes, baby spinach with clean water and cut into bite-size, slice some of the big red onion. Put all the vegetables into the bowl. Add 1 tbsp EVOO, add grind coriander and grind black pepper to taste then toss things around. And voila! Oh, I also put boiled chicken breast and shredded it around. I had no idea that this simple recipe could make a delicious dish! You should try it too!

Dear my parents,

I might not the good daughter that most parents have always expected. I might not a daughter who can provide what you need or everything you desire for years. I might not a daughter who able to send you money every month because I need it too to struggle here, in Jakarta. Some friends of mine still ask their parents for money, even though they already have a job, but that is not my business and I do not want to be like them. I don’t want to make your life more difficult by asking you to send me money like when I was in college. You might have suffered enough to fund my tuition, while I’m not your only one child, you have the other two necessities to fulfill. Every time I’m telling you about this, you said that I need to get the opinion out of my mind immediately. And you keep reminding me that I don’t need to be a perfect person because perfection only belongs to God. Believe me Ma, Pa, I’m trying my best. I promise.

From the past few months, my mind and heart feel a little bit of confusion, worries, restless, you name it. I am thinking about my parents, like a lot, like every single day–when I woke up in the morning, while I’m watching a movie, while I’m eating, before sleep at night, or even now when I’m writing this post. When I got distracted with things that interest me, a minute later their faces will appear again in my mind. But I think my mum has successfully raised me the way she wanted, I mean I always have this feeling for my parents while the other friends of mine are not having this close relationship with their parents.

Since I graduated from high school, I no longer spend my life with my parents and my brothers like I used to. I started living apart from them. For instance, they were in Jakarta and I was in Makassar because I had to attend lectures for the sake to get a degree. It was hard at first, but I get used to it, because I think I was surrounded by people who were nice to me and it made me less homesick. We met like once a year, especially on Lebaran days, they came to visit me or vice versa. Then one day, I realized one thing, it’s the only me, their children who are no longer spend much time with them. People might judge me as a whiny, fractious kind of person, but I don’t mind. I’m glad that my parents have succeeded to make me become more and more caring and loving to them all of my life. I become more appreciative of every quality time that my family and I have spent together, either in person or through video/voice calls. I become more concerned about their health. I become more guilty every time I didn’t call them in a day asking about how they are doing. How I long for them so much!

Thanks for being my parents, you guys are my forever support system. Love you Ma, Pa, big time! ❤

Jakarta Typical Transportation

It has been a month since I moved to my uncle’s home. I’m happy that I’m no longer staying alone at kos-kosan. I, of course, mingled with people back at kos-kosan, but we didn’t do it often. It was a couple of months when I visited my uncle’s home, he offers me to move to his place and live with them. I told my uncle to think about it first and finally decided to move to his house. So that means, I will stay with them in an area whose location is farther away from my office.

Since I moved to Jakarta, I have (still) learned to use public transportation. Mum asked me whether I need my car and offered to send our car so that I can use it here but I refused her idea because I do not want to be stuck in traffic for hours, and traffic in Jakarta is well known as the worst. Yes, the traffic here is such a nightmare–typical capital city, it literally getting worse compared to a few years ago. So, public transportation is a make-sense solution for like-minded people. It is very helpful, the transportation itself is getting better. Thanks to the government.

Using public transportation makes my time more worthy to spend. I have managed to finish some books and watch some inspiration from someone’s channel on YouTube, no need to be stuck in traffic for hours or we are able to take a quick nap before arriving at our destination.

In Jakarta, there is some public transportation I use on a daily basis:

1. Ojek Pangkalan (OPang)

OPang is non-fixed fare transportation that uses a motorcycle and is mostly driven by a male. *pic to be continued*

2. Metromini

The form of Metromini is like a bus but without an air conditioner. It uses diesel fuel to operate which is will produce air pollution in such a big amount. The fixed fare is around Rp 4.000,- for one trip with a non-fixed distance.

3. Busway

The Busway is my favorite one. It has an air conditioner, proper seats, less crowd and the most important is, it has its own track which keeps the passengers off of the traffic. And at least, I am able to read books in silent circumstances.

4. Online Transportation (Gojek/Grab/Uber)

Yes, I have all these three apps on my mobile phone. I like to compare the fare before I make an order and take the cheapest price and I bet you do the same unless you have a favorite one of them either because of the services or the faster pick up. However, I thank the inventor who has created such a helpful thing.

If we compare to Ojek Pangkalan (#1), online transportation price is the most affordable which attracts most of the people who need to reach the destination on schedule.

5. Commuter Line

My first experience of using transportation was when I went to go to my friend’s home in South Tangerang. This transportation is faster yet the cheapest. Since I moved to my uncle’s home, I use it every single day. I like it but you have to pass a life challenge that I have to face i.e. jostling with other passengers. I always feel exhausted every time I arrived home, but as time goes by I get used to it. People may say how hard my trip is to reach the office, but it’s no longer a big deal.

Egg Mayonnaise Sandwich

In recent years, I have always pay attention to the food I consume. I am no longer tempted by unhealthy food which contains a high level of Monosodium Glutamate. Since I moved to my uncle’s house, I have got a little time in the morning to make breakfast because I have always woke up late when I was staying at kos–not a morning person though. Besides I am able to control the hygiene of the ingredients.

For these past two years, I always have a bowl of a mixture of oatmeal, granola, and Energen cereal for breakfast, but I am thinking of making some variation like something tastier. Sometimes, I added yogurt and some fruit too along with the mixture of oatmeal e.g banana, dragon fruit, and strawberry.

I was searching for the simplest recipe on YouTube, I stumbled upon a YouTube channel about how to make an egg mayonnaise sandwich and implement it ever since. I’m proud of myself because I successfully didn’t make my stomach hurt. LOL. Down below is a recipe for a simple egg mayonnaise sandwich. Let’s do this for the sake to get a healthy body.

Ingridients:

  • 4 slices of bread
  • 2 boiled eggs
  • Spring onion
  • Chivesa
  • Lettuce
  • Tomatoes
  • Celery
  • Mayonnaise
  • Salt
  • Black pepper powder

Method:

  • Boil eggs and mash them in a bowl (boil it for 15 mins)
  • Add mayonnaise to the boiled eggs and mix them well
  • Add salt, black pepper powder, spring onion, and chives to this (stir it up)
  • Take bread slices and place lettuce over it
  • Spread the mayonnaise mixture over it and place tomato slices over it
  • Sprinkle black pepper powder over them and cover it with a bread slice
  • Cut them into pieces

So simple and it only takes less than 15 minutes to make it. The taste is amazingly delicious and makes me survive until lunch.

IMG_6203
Voila! The egg mayonnaise sandwich is ready to serve. I was running out of lettuce.

Dislikes

Every time people asking about what I don’t like, there are many things popped out in my mind. I consider myself a slightly cynical and grumpy kind of person. I surely don’t like how my brain works because it can’t please everyone, but how can I stop it? I just want to be genuine, with no hypocrisy for every single life aspect. I complained about almost many things. So, down below are few things that might make you agree or disagree with me:

People who feel sorry to the wrong person

A couple of weeks ago, my flatmates and I went to a shopping mall for doing some groceries. We use online transportation to get there. A friend offers to use a discount code she got from her friend. The fixed fare was Rp 26,000,- for one way trip, after she enters the code then the fare automatically changed into Rp 2,000,-. So, logically we pay the driver only for Rp 2,000,-, right? Then she asks me how much we pay for the driver, I answered her straight that we will pay for Rp 2,000,-. But the funny thing is, she got slightly shocked at the moment and says that it’s too cheap to pay the driver with only Rp 2,000,- because she felt sorry about the driver. I might sound stingy, but whatever.

Well, for me it doesn’t make sense. How is it possible that the price was too cheap? It’s indeed cheaper than before she enters the voucher but what was the discount code she got for if she didn’t agree afterward? Isn’t the company aim to make the customers more convenient in order to improve their services by gaining customers satisfaction? Didn’t she think that it’s part of the marketing strategy to gain more customers? Then I tell her, if she feels sorry about the driver, think about poor people out there who have no money to survive, people who have no food to eat, people who have no place to live, and those unlucky people out there. I was silent along the way back home after I explained to her that. Didn’t she realize that the driver has a job? This is what I have always complained about people who claimed they are well educated. Well, I don’t claim that I am well educated but I’m just using my brain.

People who littering around

Ugh! No one likes this human bad habit. Every day, I use public transportation, it’s called Busway. I usually sit in the front-line seat of the bus so I can enjoy the view of the street, the people, the vehicles that passing by, the trees, the buildings, or to check the driver what he’s doing every time we stuck in traffic. One day, there was a young driver, maybe he is middle 20ish. He turned up the music volume from his smartphone loudly which made my ears got a bit sore, and the songs he played was annoying but surprisingly I didn’t complain about it because I think people enjoyed it. He ate boiled peanuts at that moment and guess what bothered me? He threw away the nuts’ shell out of the window which made me furious!! I was staring at him for minutes to make eye contact which I aimed to admonish him, but he didn’t notice. I couldn’t hold it and asked him straight to stop it anyway.

Maybe for him, it’s not a big deal to littering the garbage around because he might think that the street janitor will sweep out all the garbage. Okay, he may be right, but how if thousand people do the same thing? Meanwhile, they keep complaining about the flood that might be caused by the garbage they have thrown away. I wish I have Doraemon and borrow a magic tool like a flashlight, a tool to make people’s brain works properly, so by the time I point it out the light straight to the people’s head then the light goes inside to their brain, and voila!

Girls who complain about gaining weight.

Every time I heard or read this kind of status on social media complaining about this, I laughed my arse off. It’s totally funny yet kinda makes me sick. Seriously, why they are so lazy to apply healthy life for the sake of their own body to lose weight? Every time I meet my friends, they’d say, “It looks like you lose weight a bit? Are you on diet?”/”How is it possible, you eat a lot but you don’t gain so much weight?”/”Wow, you look fresh today!”. Anyway, I thanked them for all the compliments and I’m not on any kind of diet. It’s just about the dedication that I have to avoid unhealthy food.

Please take my simple advice. First, pay attention to what you consume on daily basis. Choose boiled food instead of fried or roasted food. Second, drink water at least 8 glasses a day; 2 glasses straight after you get up in the morning (Japanese people take 4 glasses in the morning to keep their skin glowing), 1 glass at brunch, 1 glass at lunch, 1 glass at 3 pm, 1 glass at 5 pm, 1 glass at dinner and 1 glass at night (one hour before sleep to reduce heart attack risk). Third, avoid all kinds of processed sugar food/snacks & beverages i.e. snacks and soft drinks, take juice without sugar/milk instead. Eat less food that contains carbohydrate; oatmeal/granola & yogurt for breakfast and add some fruits, rice for one plate at lunch and a half at dinner (5-7 pm and stop eating after this hour), don’t take more rice if you are still hungry, take fruits or just drink more water. Fourth, don’t be lazy to move your ass! Pardon my language. Doing exercise is very important, at least take a walk for 15-30 minutes a day. There are many simple exercise videos on the internet to burn calories. Once again, it’s about dedication. These steps will make your body stay in shape, you will get your skin glowing, trust me. Do it every single day and thank me later.

Racism.

This thing is such huge cancer. All human beings have this ‘cancer’ inside their mind. I would never ever agree to all forms of racism. Why people judge others through their skin colors, races, or even religions nowadays? I’m so sick of this!

People who ignore the rules.

One day, when I took a busway to return back to my flat, I met two girls–let’s call them Gen Z–who brought food inside the bus and ate it during the trip. The smell was covering all over the bus. Then automatically I made a few cynical gazes (like usual) at them, deliberately. Didn’t they read about the rules that stick to the bus’s window which explains that the passenger is not allowed to eat/drink/smoke inside the bus? Besides, it’ll produce a weird scent inside the bus and disturbing all passengers’ comfort, it will foul the bus scope. I was mad. But then they finally stop it and out of the bus.

People who have memory issues.

I don’t blame people who have this issue, it happens to me sometimes because we have many things running inside our heads. But tell me how to deal with this? I literally wanna cry every time I remind them about what they have been told me or they have promised or what they have done to me but they didn’t remember it at all. It’s disappointing. Should I write it down on the note complete with the date, hour, and initials, so they will remember again once I show them the note? *sigh*

People who spit around!

Seriously, people? It’s disgusting! Do it in fckin toilet!

People who have body odor issues.

I’m so sorry, I seriously can’t stand this. There is a new intern guy at the office who has this issue, I couldn’t help myself when he approaches and talks to me. Ugh! Didn’t he have time to take a shower in the morning before starting the day? Or at least applying deodorant.

People talk something bad behind people they don’t know = gossiping (?)

I sometimes do gossiping too–but only with my best friends, but frankly I don’t like talking about people whom I know based on their social media unless how weird they react to something, then I’ll tell it to my best friend and laugh about it together. It seems most people nowadays value others based on what they see on the surface. They talk about people they don’t know based on the idea they have posted on their social media.

One day, I met a friend, we haven’t mingled for years. Out of nowhere, she asks me about my friend’s sister who I found her style cool and bold. She mentioned that my friend’s sister–let say Melati because I have a friend whose real name is Mawar, looking perfect only on the picture she saw on Instagram. She used to be a cool friend until she mentioned it which makes me completely down. Even if you are The Duchess of Cambridge, you can’t say that, my friend.

So, that’s a few things I don’t like (that’s all I can remember so far) but mostly about human behavior which sometimes happens to me too but I keep trying to make a change to be a better person every single day. *cross finger*

Farewell, Chester Bennington

Checking the news portal every time I wake up in the morning becomes one of my routines before starting the day and I do it every single day. It was on last Friday, I checked the Twitter timeline to update what’s going on. Linkin Park’s frontman, Chester Bennington, was becoming the number one world hashtag that day. Then I opened all of the news that linked to the article about him. I was shocked. Mr. Bennington has passed away. He was tragically found dead by hanged himself from a bedroom door at his own home. I’m devastated. 😥

According to the news, Mr. Bennington revealed his complex battle with depression in his final interview before he committed suicide. They informed that when he was a kid, he had been molested by an older male friend, being sexually abused as seven years old, then his parents divorced when he was eleven, he also had a history of drug and alcohol abuse. Such a desolate childhood. I couldn’t imagine how he had survived during that situation.

I am a big fan of the band since I was in junior high school. I grew up with their songs. I love their music and the lyrics they have created, and it is genuinely awesome. They’re such a genius band that you can barely find in the recent showbiz world.

I have been mourning that day and my heart broke into million pieces, literally. I may not know him personally, but he lives in my heart and mind since then. Now I realized that all of the songs they’ve created are about depression that might happen to his/their life. I love you, Chester. We all do! You helped us to go through the hardest part of our life when we couldn’t brave enough to speak up as a teenager. You such an inspirational person.

My heart goes out to his family, friends, and Mike Shinoda/Brad Delson/Joe Hahn/Dave Farrel/Rob Bourdon. May your soul rest in peace, Sir.

linkinpark